Oleh Ipan Pranashakti (www.ipan.web.id)

Beberapa waktu lalu saya mengantar istri refreshing Mall di Jogja yang menurut saya telah menerapkan strategi bisnis yang hebat, sehingga pernah saya melihat salah satu staf manager menegur staf Cleaning Service hanya karena berjalan dengan santai tapi tidak memperhatikan lantai. Dalam kontek mempertahankan pelanggan menegur tim cleaning service yang kurang teliti tersebut adalah sebuah impact dari strategi bisnis yang mengakar sampai ke bawah, karena semua rambu-rambu menajemen di delegasikan dalam bentuk instruksi dan rapat-rapat kecil.

Pada hari yang lain saya ke mall tersebut untuk ke sebuah pertunjukan megah, karena begitu banyak  pengunjung maka tim keamanan dan tim cleaning service kewalahan, secara tiba-tiba istri saya ditegur seseorang dengan agak keras, gara-gara berhenti sebentar untuk cek HP didekat pintu masuk. Saya terkejut karena rupanya yang menegur tersebut adalah staf manager yang saya lihat kemaren. Dalam hati saya berpikir, hem.. staf manager ini mempunyai daya komunikasi yang baik namun dia lupa dengan komunikasi verbal dan non verbal dalam aspek bisnis. Sehingga menegur staf cleaning service dengan pelanggan sama bentuknya, yah walaupun saya sadar sang staf menager sedang dalam tekanan tinggi.

Dalam strategi bisnis yang baik, unsur-unsur komunikasi disusun dalam standar pencapaian yang rapi dan diskriptif. Kenapa? Karena disinilah implementasi segala strategi itu dibangun. Standar komunikasi adalah bentuk standar minimal yang harus diterapkan kepada seluruh elemen perusahaan, terutama kepada unsur-unsur fronltiner.

Standar minimal nilai-nilai komunikasi selain untuk menyampaikan pesan ke sesama staf juga untuk pelanggan. Apa saja garis besar orientasi komunikasi tersebut?

Memahami hambatan-hambatan dalam komunikasi, antara lain dipengaruhi oleh :

Ketahananan gangguan emosional.

Pernah saya dalam satu bulan berhubungan dengan CS-CS dari banyak perusahaan, baik hosting, penyedia domain, agen motor, agen computer dan laptop dengan bentuk aplikasi strategi bisnis yang berbeda-beda. Dari sekian yang ada saya dan tim hanya terkesan pada CS sebuah penyedia hosting web dari Yogya, kenapa? Karena ketika saya atau tim saya sedang  emosi karena tekanan pekerjaan, sang CS tadi selalu tetap tenang dan bersahabat. Kata-katanya justru teduh. Namun berbeda dengan kondisi  dari perusahaan hosting hosting web dari kota lain, staf  saya mengalami perbedaan pelayanan ketika menghadapi CS nya, dari awalnya baik namun ketika staf saya sedikit lelah dan agak kesal, sang CS tadi juga ikut membalas dengan nada keras, dan tidak ada unsur-unsur keteduhan, solusi, persahabatan dan sapaan, sehingga keramahan yang awal hilang semua. Nah dari sekilas saya sudah bisa menilai mana dari perusahan ini yang akan tetap kami pertahankan kerjasamanya sampai tahun-tahun mendatang.

Unsur-unsur gangguan emosi ini dari staf dan frontliner antara lain:

  •  Sulitnya menyusun kata-kata yang tepat ketika sedang emosi, kecewa, takut dan marah
  • Hilangnya obyektifitas bahwa pelanggan adalah raja dalam kerjasama bisnis
  • Sulitnya menangkap pesan dari pelanggan karena sedang tekungkung rasa amarah
  • Cenderung apriori terhadap pelanggan yang pernah terlibat perbedaan pendapat
  • Sulitnya menunjukkan sikap, bahasa tubuh yang ramah dan bersahabat saat marah

Hambatan komunikasi karena faktor Perbedaan budaya

Saya mempunyai istri dari sebuah pulau di wilayah barat negeri ini, yang cenderung bernada tinggi ketika melakukan aktfitas diplomasi/obrolan apapun. Tidak semua orang bisa menerima pada awalnya, namun lama-lama sudah terbiasa. Dari sinilah bahwa untuk melihat dari faktor “yang sudah biasa” tadi perlu waktu, lalu bagaimana ketika dalam bisnis. Kalau dalam sebuah lingkungan social itu bisa dimaklumi, namun jika dalam lingkungan bisnis, pelanggan belum tentu memaklumi dengan cepat, karena memang waktu dan frekuensi titik temu yang rendah. Sehingga dala kasus ini justru istri saya yang saya  arahkan untuk lebih menyesuaikan dengan tuntutan. Tuntutan bukan dari saya, namun dari lingkungan sekitar, selama masih positif. Begitu juga tentu dalam bisnis, perbedaan budaya baik dari cara bicara, cara menegur, cara menerima telpon harus dibuat dalam sebuah standarisasi. Apakah sampai sedetil itu? Iya , jika anda ingin mempertahankan sebagai pemenang dalam persaingan. Nilai standar itu bisa dimulai dari ketauladan sang pimpinan, sang manager dll dalam lingkung top manajemen.  Pernah saya bertemu dengan salah satu manager area sebuah bank, dia selalu mencontohkan dengan bertelepon yang baik dengan siapapun, baik atasan maupun bawahan, terutama pelanggan. Dari percontohan dan ketauladan ini lah punishment sosial antar karyawan terbangun dengan sendirinya, ketika ada staf yang agak keras/emosi ke pelanggan, staf lain bisa memberi kode dengan kedipat mata, agar staf yang lain lebih tenang dalam menghadapi pelanggan. Sehingga di bank kantor cabang ini, perbedaan budaya bisa disatukan dengan visi misi perusahaan yang tertanam dari strategi bisnisnya.

Sukses selalu