Produsen kadang kebingungan menetapkan harga jual, apalagi jika belum memahami dengan baik metode penghitungan untuk produk jasa adan produk barang, bisa menjadikan sesuatu seakan rumit, padahal setidaknya itu bukan menjadikan hambatan bagi pebisnis, meski penetapan harga produk untuk skala UKM.
Nah bagaimana metode penetapan harga itu? Mari kita simak beberapa metode penetapan harga yang bisa dipilih salah satu atau keduanya, ketiganya bergantung pada kondisi usaha.
Pertama, Penetapan harga mark-up, ini sering digunakan untuk para pemula, yang intinya adalah menghitung total biaya produksi kemudian menaikkan harga agar mendapatkan keuntungan. Saya ambil skala untuk UKM, misal pengusaha sate untuk dititipkan ke warung-warung, misal angkringan, maka dihitung biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, biaya distribusi/pengantaran. Mungkin dalam hal ini bisa saja jika pemula lupa, karena saking semangatnya usaha di hari pertama, hanya menghitung total biaya produksi, kemudin menambahkan sekian rupiah agar dapat laba, ternyata harga yang ditetapkan belum termasuk jik sate itu bersisa dan tidak laku, kan ini secara langsung mengurangi keuntungan. Nah metode mark up ini tidak langsug cocok kepada semua usaha, harus ada perhitungan yang lebih antisipasif terhadap resiko-resiko kemudian. Bahkan ekstrimnya jika kita mengambil keuntungan terlalu tinggi sehingga penetapan harga barang juga menjadi tinggi, maka akan sangat beresiko jika pesaing utama menetapkan harga yang lebih rendah. Banyak orang memilih ini penetapan ini karena dianggap lebih simpel, walau belum mengukur kekuatan permintaan di pasar.
Kedua, Penetapan harga demi pengembalian modal, yah ini sering dilakukan jika memang modal didapat dari pihak ketiga, atau dari usaha bersama, yang tujuannya begitu jelas, agar bisa memutar modal, dengan perhitungan macam-macam, termasuk misak suku bunga pinjaman ke pihak lain, kadang langsung saja menetapkan persentasenya misal 10% atau 40% dari modal. Kelemahan ini memang didasari pada kekuatan persaingan pasar, juga kondisi bahan baku yang naik turun sehingga jika pesaing menggunakan modal sendiri/mandiril maka bisa lebih fleksibel dalam menetapkan harga.
Ketiga, Penetapan harga pengekor(Umum), ini penetapan harga yang selalu mengkondisikan sesuai harga pesaing, atau harga umum di pasar, pun kadang beda harga, maka penetapan harga hanya lebih maha/murah sedikit banget. Penetapan ini sering dilakukan para pemula usaha, pebisnis awal yang belum paham posisi kekuatan permintaan pasar, dalam bahasa saya pribadi, seperti cari aman dahulu lah.
Keempat, Value riil, ini sering dijalankan pada perusahaan yang sudah memiliki kesetiaan pelanggan begitu kuat, atau justru untuk semakin memperkuat, pada posisi ini barang dibuat berkualitas unggul namun penetapan harga dibuat rendah dari pesaing. yang paling sering dirasakan dalam hal ini dengan menekan efekftitas biaya produksi, distribusi dan garansi. Pada pilihan penetapan harga ini, harus lebih mampu improvisasi melakukan penyempurnaan di berbagai lini terus menerus karena kualitas di atas rata-rata namun harga di bawah rata-rata pasar, ini jika hanya sebuah ide pasti mudah, namun dalam operasional butuh benar-benar mampu melakukan perbaikan terus menerus.
Kelima, Penetapan harga dari Value yang dipersepsikan, ini sering menjadi metode pilihan untuk produsen yang sebelumnya sudah kuat dengan produk lain, atau kuat dari reputasinya, bisa juga dari kualitas jaringan, jaring distribusi , adanya bentuk award yang pernah diterima produsen, atau telah mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Saya ambil contoh, misal Penerbit Gramedia, atau Elexmedia, selain memproduksi buku namun juga memiliki Gerai yang terpercaya di berbagai tempat, dengan kualitas penyebaran dan fasilitas yang layak. Saya pribadi sengajar mengambil contoh ini karena tentu sebagian besar pembaca memgenal Gramedia.
Keenam, Penetapan harga kompetisi jenisnya, ini sering berwujud pada harga produk yang bersifat custom, bisa juga dalam pelelangan, yang berlaku memang kekuatan sepihak dari dominasi konsumen. Ini juga memilliki kekuatan daya tawar yang tidak umum, artinya mungkin produk yang tidak diciptakan secara masal dan serempak.
Ketujuh, Penetapan harga paketan, ini sering terjadi penawaran tidak dengan menjual 1 produk, namun dengan beberapa produk digabung menjadi kelompok barang, atau paketan. Secara umum ini sering terjadi di Indonesia di bis-bis, misal 10ribu dapat 3 buku, 3 pensil, 2 penghapus dan 1 penggaris.